•05.40
Suatu hari seorang sahabat pergi ke rumah orang jompo atau lebih dikenal dengan sebutan Panti Werdha dengan teman-temannya. Kebiasaan ini mereka lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita bisa berbagi dengan orang-orang yang kesepian dalam hidupnya.
Ketika dia sedang berbicara dengan beberapa ibu-ibu tua, tiba-tiba mata sang sahabat tertumpu pada seorang Opa tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong. Lalu sang sahabat mencoba mendekati Opa tua tersebut dan mengajaknya berbicara.
Perlahan tapi pasti sang Opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si Opa menceritakan kisah hidupnya.
Si Opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang. Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal di rumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus. Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai ke luar negeri dengan biaya yang tidak pernah saya batasi.
Apapun keinginan anak saya, saya usahakan agar terpenuhi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.
Tibalah dimana kami sebagai orang tua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak. Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yang mau menemani saya karena mereka semua sudah mempunyai rumah yang juga besar. Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saya memerlukannya.
Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan bahwa dia akan menjual rumah karena selain tidak efisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengah hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya. Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung.
Tapi apa yang saya dapatkan? Setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan.
Lalu saya tinggal di rumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita didalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan lagi semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu. Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka. Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan air mata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka ?
Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dahulu saya kasihi melebihi dari yang lain karena dia dulu adalah anak yang paling memberi kesukacitaan pada kami lebih dari yang lain. Tapi apa yang saya dapatkan? Setelah beberapa lama tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di Panti Jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.
Sekarang sudah 2 tahun saya di sini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat. Saya bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.
Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat-sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya. Sejak saat itu sang sahabat selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang Opa.Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang Opa berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-kali sang sahabat membawa serta anak-anaknya berkunjung.
Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena semua kesibukan kita.
Bukankah kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian?
Ingatlah bahwa tanpa ayah dan ibu, kita tidak akan ada di dunia ini dan menjadi seperi sekarang ini.
Jika kamu masih mempunyai orang tua, bersyukurlah sebab banyak anak yatim piatu yang merindukan kasih sayang orang tua.
Sumber
Ketika dia sedang berbicara dengan beberapa ibu-ibu tua, tiba-tiba mata sang sahabat tertumpu pada seorang Opa tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong. Lalu sang sahabat mencoba mendekati Opa tua tersebut dan mengajaknya berbicara.
Perlahan tapi pasti sang Opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si Opa menceritakan kisah hidupnya.
Si Opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang. Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal di rumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus. Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai ke luar negeri dengan biaya yang tidak pernah saya batasi.
Apapun keinginan anak saya, saya usahakan agar terpenuhi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.
Tibalah dimana kami sebagai orang tua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak. Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yang mau menemani saya karena mereka semua sudah mempunyai rumah yang juga besar. Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saya memerlukannya.
Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan bahwa dia akan menjual rumah karena selain tidak efisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengah hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya. Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung.
Tapi apa yang saya dapatkan? Setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit-sakitan.
Lalu saya tinggal di rumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita didalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan lagi semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu. Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka. Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan air mata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka ?
Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dahulu saya kasihi melebihi dari yang lain karena dia dulu adalah anak yang paling memberi kesukacitaan pada kami lebih dari yang lain. Tapi apa yang saya dapatkan? Setelah beberapa lama tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di Panti Jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.
Sekarang sudah 2 tahun saya di sini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat. Saya bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri.
Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat-sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya. Sejak saat itu sang sahabat selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang Opa.Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang Opa berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-kali sang sahabat membawa serta anak-anaknya berkunjung.
Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena semua kesibukan kita.
Bukankah kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian?
Ingatlah bahwa tanpa ayah dan ibu, kita tidak akan ada di dunia ini dan menjadi seperi sekarang ini.
Jika kamu masih mempunyai orang tua, bersyukurlah sebab banyak anak yatim piatu yang merindukan kasih sayang orang tua.
Sumber
Renungan
|
2 komentar:
hik hik hik
terharu....
great post!!!